Memasuki
musim hujan akhir tahun 2011 perhatian public terwacanakan pada masalah
longsor,banjir,dan dampak lainnya. Siklus banjir besar lima tahunan
diperkirakan terjadi pada awal tahun 2012.
Pemecahan
masalah banjir sering kali mengedepankan pendekatan fisik. Banjir dipahami lebih sebagai masalah sector dan karenanya
dipecahkan melalui dominasi fisik prasarana.
Dominasi
pendekatan fisik dan parsial yang begitu kental tercirikan dari banyak
investasi pemerintah dalam membangun tanggul tanggul sungai dimana mana.
Pelurusan sungai dengan membangun tanggul tanggul sungai dan tebing beton
sumber sumber air lainnya di temui di banyak tempat. Bisa jadi istilah
“penanggulangan” dalam mengatasi masalah banjir merefleksikan dominasi
pendekatan tersebut. Kini,banjir menjadi sebuah kata yang telah mewabah dan
kian menakutkan.
Pembuatan
tanggul sungai yang tak selektif dan
parsial justru kontraproduktif. Genangan air di suatu wilayah yang berkurang
boleh jadi membuat banjir di daerah lain. Dengan demikianpenanggulangan yang
dilakukan tidak selektif dan komprehensif cenderung memindahkan masalah dan
menambah biaya pemeliharaan.
Potret
banjir yang kejadiannya kian intensif dan ekstensif, disadari atau
tidak,merupakan respons balik alam atas perbuatan tangan manusia. Boleh jadi
bencana longsor,banjir dan kekeringan dimana mana. Berikut dampak ikutannya
merupakan akibat dari investasi pembangunan yang sporadic daan parsial tanpa
arah yang jelas. Motif kepentingan elite ad hoc kedaerahan disinyalir turut
mempercepat laju degradasi lingkungan.
Ketenangan
hidup dan kohesi sosial yang telah lama berkembang juga terusik keberadaannya.
Melemahnya akses masyarakat pada pangan dan nutrisi,air bersih,dan produktif,
benar benar telah mengancam harkat dan martabat bangsa Indonesia.
Cara
mengatasi: perlu pendekatan DAS
Daerah
Aliran Sungai(DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan suatu kesatuan
dengan sungai dan anak anak sungainya, yang berfungsi untuk
menampung,menyimpan,dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau
atau ke laut secara alami. Batas di darat merupakan pemisah topografis dan
batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktifitas
daratan. Secara kontekstual,definisi ini didukung oleh kenyataan bahwa hubungan
hulu-hilir dan daratan-lautan sebagai cermin ekosistem. Karena itu satu
kesatuan pengelolaan adalah keniscayaan.
Setidaknya
dua ranah pemecahan perlu dikedepankan. Pertama,perlu mengembangkan kolaborasi
sinergis antarinstansi dan pihak terkait. Baik seecara horizontal,maupun
vertical. Prakondisi yang harus dibangun adalah tapak bersama sebagai refleksi
pengakuan bahwa persoalan kompleks dan saling mengait diatas tak akan pernah
terpecah dengan baik melalui intervensi sporadic dan sektoral, yang cenderung
menafikan kerangka pendekatan DAS secara utuh.
Sumber : Kompas,edisi Kamis 29 Desember 2011,
halaman 7