PERILAKU MENYIMPANG DAN SIKAP ANTISOSIAL
1 Pengertian :
Ada
beberapa definisi yang dikemukakan para
pakar sosiologi mengenai perilaku menyimpang, antaralain sebagai berikut :
a. Perilaku
menyimpang adalah penyimpangan terhadap kaidah-kaidah dan nilai nilai dalam
masyarakat. (Soerjono Soekanto)
b. Perilaku
menyimpang adalah pelanggaran terhadap norma masyarakat. (John J.Macionis)
c. Perilaku
menyimpang adalah perilaku yang oleh sejumlah besar orang dianggap sebagai hal
yang tercela dan diluar batas toleransi (James W.Van der Zaden)
d. Perilaku
menyimpang adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma norma yang berlaku
dalam suatu sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang paling
berwenang dalam sistem itu untuk memperbaiki perilaku yang menyimpang (Robert
M.Z.Lawang)
Berdasarkan definisi tersebut, dapat
dikaitkan bahwa hakikat dari perilaku menyimpang adalah perilaku
seseorang/sekelompok orang yang dianggap melanggar standar perilaku atau
norma-norma yang berlaku dalam sebuah kelompok/masyarakat. Bisa pula dikatakan,
perilaku menyimpang merupakan perilaku seseorang/kelompok yang dianggap tidak
menyesuaikan diri dengan kehendak umum masyarakat/kelompok.
2.
Beberapa Hal Penting
Perilaku
menyimpang merupakan gejala sosial yang kompleks. Berkenaan dengan itu,
setidaknya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar kita memiliki
pengertian yang lebih utuh mengenai perilaku menyimpang, yaitu :
·
Seseorang dikatakan berperilaku
menyimpang karena orang lain/masyarakat
mengatakannya seperti itu .
·
Standar perilaku masyarakat berubah-ubah
dari waktu kewaktu. Karena itu perilaku yang termasuk dalam perilaku
menyimpang, berbeda dari waktu kewaktu. Perilaku yang dianggap termasuk dalam
perilaku menyimpang pada masa lalu,
belum tentu dianggap sebagai perilaku menyimpang pada masa kini atau masa yang
akan datang.
·
Standar perilaku masyarakat yang satu
bisa berbeda daangan masyarakat yang lain. Karena itu perilaku yang dianggap
sebagai perilaku menyimpang oleh sebuah masyarakat, belum tentu dianggap
sebagai perilaku menyimpang oleh masyarakat lain.
·
Perilaku menyimpang dapat berupa
tindakan krminal. Contohnya yaitu perilaku mengambil harta milik orang lain
tanpa izin (mencuri), membunuh orang, menganiaya, dan sebagainya.
·
Ada pelanggaran hukum yang bukan
merupakan perilaku menyimpang, contohnya yaitu sebagian besar pengendara mobil
pada umumnya mengendara dijalan dengan
kecepatan sedikit diatas kecepatan yang diperkenankan, namun demikian, hal itu
tidak dianggap sebagai perilaku menyimpang.
·
Masyarakat ada kalanya sangat mengecam
beberapa perilaku menyimpang tertentu, misalnya penyiksaan anak. Namun,
bersikap biasa-biasa saja terhadap beberapa bentuk perilaku menyimpang lainnya.
(missal: rambut dicat dengan warna yang mencolok)
·
Apa yang disebut perilaku menyimpang ada
kalanya dibuat oleh penguasa untuk melindungi kepentingannya. Contoh: para
pemilik perusahaan yang merugi, memiliki hak untuk menutup perusahaan mereka,
walaupun tindakan itu mengakibatkan ribuan pekerja kehilangan pekerjaan.
Tindakan itu bukan merupakan suatu perilaku menyimpang. Sementara itu, jika
para pekerja melakukan demonstrasi dan menyebabkan kerusakan kecil pada
lingkungan perusahaan, mereka dianggap telah melakukan tindakan kriminal.
3.
Jenis-jenis perilaku menyimpang
Perilaku
menyimpang dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria atau sudut pandang,
yaitu:
3.1.Berdasarkan
Jenisnya
a. Penyimpangan primer (primary deviation) merupakan
perilaku menyimpang yang pertama kali dilakukan. Perilaku ini bersifat
sementara, tidak dilakukan secara berulang. Sipelaku pada umumnya tetap
diterima secara sosial. Ini terjadi karena masyarakat bisa memaklumi
penyimpangan tersebut. Contoh : seseorang yang karena sesuatu hal tidak ikut
serta dalam siskamling bersama.
b. Penyimpangan sekunder (secondary deviation) adalah
perilaku menyimpang yang merupakan pengulangan dari perilaku sebelumnya. Jadi
perilaku menyimpang itu telah berulang-ulang dilakukan seseorang. Contoh:
seseorang yang berulang-ulang mencuri, seseorang yang berulang kali menipu (penipu).
Masyarakat umumnya tidak bisa menerima secara sosial mereka yang melakukan
perilaku menyimpang sekunder.
3.2.Berdasarkan
Efek/Dampaknya
a. Perilaku
menyimpang yang bukan merupakan kejahatan, adalah perilaku menyimpang yang
tidak termasuk perbuatan pidana. Contoh: orang tua yang masih suka bermain
kelereng, bermain petak umpet, dan lain lain
b. Perilaku
menyimpang yang merupakan kejahatan, adalah perilaku menyimpang yang diancam
dengan sanksi pidana. Contoh: pencurian, penyiksaan.
c. Kenakalan
remaja, adalah perilaku menyimpang yang umumnya dilakukan oleh kaum remaja.
Contoh: perkelahian antarpelajar, penggunaan obat-obatan terlarang.
4.
Fungsi Perilaku Menyimpang
Pada
umumnya, perilaku menyimpang dinilai negative pleh masyarakat. Demikian
pula,menurut pandangan umum perilaku itu dianggapmerugikan masyarakat.
Namun,
ternyata menurut salah seorang pendiri sosiologi, Emiele Durkheim (1895-1982),
perilaku menyimpang bukanlah perilaku yang semata mata tak normal dan melulu
bersifat negative. Menurutnya, perilaku menyimpang memiliki kontribusi positif
bagi kelangsungan masyarakat secara keseluruhan. Durkheim berpendapat, bahwa
ada empat kontribusi penting dari perilaku menyimpang, yaitu sebagai berikut :
a. Perilaku
menyimpang memperkokoh nilai-nilai dan norma dalam masyarakat. Setiap konsep
kebajikan merupakan lawan dari ketidakbaikan. Dengan demikian tidak akan ada
kebaikan tanpa ada ketidakbaikan. Karena itu, perilaku menyimpang sangat
diperlukan untuk semakin meneguhkan moralitas masyarakat.
b. Tanggapan
terhadap perilaku menyimpang akan memperjelas batas moral. Dengan menyatakan
beberapa orang sebagai perilaku menyimpang,masyarakat memiliki kejelasan batas
mengenai apa yang benar dan apa yang salah.
c. Tanggapan
terhadap perilaku menyimpang akan menumbuhkan kesatuan masyarakat. Masyarakat
umumnya menindak perilaku menyimpang yang serius dengan tindakan tegas secara
bersama-sama. Dengan demikian, masyarakat menegaskan kembali ikatan moral yang mempersatukan mereka.
Contoh : tragedi WTC
d. Perilaku
menyimpang mendorong terjadinya perubahan sosial. Para pelaku perilaku
menyimpang akan menekan batas moral masyarakat, memberikan alternative baru
terhadap kondisi masyarakat dan mendorong berlangsungnya perubahan. Menurut
Durkheim, perilaku menyimpang yang terjadi saat ini akan menjadi moralitas baru
bagi masyarakat di masa depan.
BERBAGAI TEORI TENTANG
PERILAKU MENYIMPANG
Mengapa terjadi
perilaku menyimpang? Pertanyaan ini dapat dijelaskan secara sederhana maupun
berdasarkan berbagai teori.
1.
Penjelasan sederhana
Perilaku
menyimpang terjadi karena berlangsungnya proses sosialisasi yang tidak
sempurna, dan adanya subkebudayaan penyimpangan sosial. Kedua sebab tersebut
bisa dijelaskan secara singkat sebagai berikut :
a. Berlangsungnya
proses sosialisasi yang tidak sempurna. Artinya apa yang diajarkan dalam
keluarga dan sekolah berbeda dengan apa yang dilihat dan dialami seseorang
dalam kehidupan nyata di masyarakat. Misalnya, dalam keluarga anak diajarkan
berbuat jujur, namun dalam masyarakat ternyata begitu banyak orang yang tidak
berbuat jujur.
b. Adanya
subkebudayaan penyimpangan sosial. Artinya, seseorang tumbuh dan berkembang
dalam lingkungan budaya yang diwarnai oleh subbudaya penyimpangan sosial.
Misalnya, seorang anak yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan
keluarga/masyarakat preman, potensial melakukan tindakan premanisme.
2.
Penjelasan berdasarkan teori-teori
tentang gejala perilaku menyimpang
Penjelasan
itu antara lain dikemukakan oleh: teori biologis, teori labeling, teori
sosialisasi, teori disorganisasi sosial, teori ketegangan, teori anomi, dan
teori konflik. Berikut dikemukakan garis besar uraian mengenai teori-teori
tersebut. (Gibbons & Jones, 1975; Marcionis, 1997; Calhoun, 1997; Schaefer
& Lamm, 1998)
2.1.Teori
Biologis
Teori ini pertama kali dikemukakan pada
tahun 1876 oleh Caesare Lombroso (1835-1909). Menurutnya, para pelaku kejahatan
umumnya memiliki cirri fisik: raut muka murung/sedih, rahang dan tulang pipi
menonjol, daun telinga menonjol keluar, bulu bulu yang berlebihan, dan
jari-jari yang luar biasa panjang, sehingga membuat mereka menyerupai nenek
moyang manusia (kera). Namun, menurut Charles Buckman Goring, ada kelemahan
dalam pendapat Lombroso, yaitu hanya didasarkan pada penelitian dengan sampel
yang sangat terbatas.
Berbagai penelitian genetis dan
sosiobiologi mutakhir terus mencoba mencari kaitan yang masuk akal antara
kondisi biologis dan kejahatan. Namun, belum ada temuan yang rinci dan
meyakinkan, yang membuktikan kaitan antara kondisi biologis dan kejahatan.
Hanya, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor biologis bisa menyebabkan orang
melakukan tindakan kejahatan.
Sebuah tindakan disebut perilaku menyimpang
karena orang lain/masyarakat memaknai dan menamainya (labeling) sebagai
perilaku menyimpang. Jika orang/masyarakat tidak menyebut sebuah tindakan
sebagai perilaku menyimpang, maka perilaku menyimpang itu tidak ada. Penyebutan
sebuah tindakan sebagai perilaku menyimpang sangat bergantung pada proses
deteksi, definisi, dan tanggapan seseorang terhadap sebuah tindakan.
Sebagai contoh, sekelompok masyarakat di
sebuah desa di Filipina, melakukan tindakan sabung ayam. Bagi kita, mungkin
tindakan itu dianggap sebagai bentuk perilaku menyimpang. Namun, bagi sebagian
penduduk Filipina, tindakan itu ternyata merupakan ritual penting untuk
menghayati kehidupan yang jujur. Jadi, proses deteksi,definisi, dan tanggapan
seseorang terhadap tindakan sabung ayam akan sangat menentukan penamaan
(labeling) tindakan itu, apakah tindakan itu akan disebut perilaku menyimpang
ataukah kgiatan ritual.
Lebih lanjut, menurut Harold Garfinkel
ada kalanya masyarakat secara formal melakukan stigmatisasi melalui tata cara
penghinaan (degradation ceremony). Stigmatisasi ini menjadikan orang sakit
secara mental (mental illness). Akibat selanjutnya, mereka terus menerus
melakukan perilaku menyimpang.
2.3.Teori
Sosialisasi
Menurut Mark S. Gaylord dan John
F.Galliher, orang yang memiliki perilaku menyimpang cenderung memiliki ikatan
sosial dengan orang lain yang memiliki perilaku menyimpang, dimana orang
tersebut mengokohkan norma norma dan nilai nilai yang menyimpang. Prinsipnya,
setiap kelompok sosial akan mewariskan nilai nilai dan norma norma kelompoknya
kepada anggota-anggota baru.
Kaum muda pada umumnya sangat terbuka
terhadap norma, perilaku, dan nilai-nilai yang berasal dari subkultur berbeda,
termasuk subkultur perilaku menyimpang. Karena itu, menurut Ronald R Akers
perilaku teman-teman dekat merupakan sarana yang paling baik untuk memprediksi
apakah perilaku seorang anak muda sesuai dengan norma yang berlaku ataukah
perilaku menyimpang.
2.4.Teori
Ketegangan
Teori ketegangan dikemukakan oleh Robert
K.Merton. ia menyatakan bahwa perilaku menyimpang lahir dari kondisi sosial
tertentu. Tepatnya, munculnya perilaku menyimpang ditentukan oleh seberapa baik
sebuah masyarakat mampu menciptakan keselarasan antara aspirasi warga
masyarakat (missal, keinginan untuk hidup sukses) dengan cara pencapaian yang
dilegalkan masyarakat (missal, pekerjaan). Jika tidak ada keselarasan antara
aspirasi-aspirasi warga masyarakat dengan cara cara legal yang ada, maka akan
lahir perilaku menyimpang.
Jadi, perilaku menyimpang merupakan
akibat dari adanya ketegangan antara aspirasi apa yang dianggap bernilai oleh
warga masyarakat dan cara pencapaian aspirasi yang dianggap sah oleh
masyarakat.
2.5.Teori
Disorganisasi Sosial
Konsep tentang disorganisasi sosial
didasarkan pada karya William I. Thomas dan Florian Znaniecki. Istilah
disorganisasi sosial mengacu pada penjelasan mengenai perilaku menyimpang dan
kondisi masyarakat yang menyebabkannya.
Menurut teori ini perilaku menyimpang
merupakan produk dari perkembangan masyarakat yang tak seimbang, didalamnya
terjadi perubahan dan konflik yang berdampak pada perilaku masyarakat.
Teori ini menekankan bahwa masyarakat
terorganisasi bila anggota masyarakat membangun kesepakatan mengenai nilai dan
norma fundamental sebagai dasar indakan bersama. Organisasi sosial atau tata
sosial terwujud ketika ada ikatan yang kuat diantara individu individu dan
lembaga lembaga dalam masyarakat. Ikatan ini meliputi kesepakatan luas mengenai
tujuan yang dihargai dan diperjuangkan. Dengan demikian, disorganisasi sosial
adalah kekacauan sosial.
2.6.
Teori Anomi
Emiele Durkheim, sosiolog dari perancis,
memperkenalkan konsep tentang anomi dalam karyanya yang terkenal The Division of Labour in Society. Buku
tersebut dipublikasikan pada tahun 1893. Ia menggunakan konsep anomi untuk
mendeskripsikan kondisi tanpa norma yang terjadi dalam masyarakat. Anomi
berarti runtuhnya mengenai bagaimana masyarakat seharusnya bersikap terhadap
yang lain. Masyarakat tidak tahu lagi apa yang bisa diharapkan dari orang lain.
Kondisi itu, menurut Durkheim, akan melahirkan perilaku menyimpang.
Anomi mengacu pada hancurnya norma norma
sosial, ketika norma tidak lagi mengontrol tindakan anggota masyarakat.
Individu individu tidak dapat menemukan kedudukan dan peran mereka dalam
masyarakat. Mereka juga tak dapat menemukan aturan-aturan jelas yang membantu
mengarahkan mereka. Kondisi yang berubah itu mengarah pada ketidakpuasan,
konflik, dan perilaku menyimpang.
Menurut pengamatan Durkheim, kekacauan
sosial (misalnya depresi ekonomi) akan mengakibatkan anomi dan naiknya tingkat
kejahatan, bunuh diri, dan perilaku menyimpang lainnya. Perubahan yang mendadak
(entah itu dalam masa kemakmuran ataukah masa depresi) akan menyebabkan
terjadinya anomi.
2.7.Teori
Konflik
Menurut teori ini, perilaku menyimpang
merupakan akibat dari ketidaksamaan dalam masyarakat. Teori ini menekankan
bahwa seseorang atau perbuatan yang disebut perilaku menyimpang tergantung pada
kekuasaan relative dari kelompok masyarakat.
Alexander Liazos (1972) mencatat bahwa
konsep umum mengenai perilaku menyimpang misalnya orang gila, pelacur,
gelandangan, menunjuk pada masyarakat yang tidak memiliki kekuasaan. Mereka
diberi stigma sebagai pelaku perilaku menyimpang.
LEMBAGA PENGENDALIAN SOSIAL
1. Pengertian
dan Fungsi Lembaga Pengendalian Sosial
Lembaga pengendalian sosial sering
disebut juga lembaga control sosial. Ada berbagai definisi yang dikemukakan
oleh para pakar mengenai apa itu lembaga pengendalian sosial. Beberapa definisi
tersebut, antara lain :
a) Lembaga
pengendalian sosial adalah segala proses, baik yang direncanakan maupun tidak,
yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga-warga masyarakat
agar mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai sosial yang berlaku. (Joseph S.
Roucek)
b) Lembaga
pengendalian sosial adalah berbagai cara yang digunakan masyarakat untuk
menertibkan anggota-anggotanya yang membangkang. (Peter L. Berger)
c) Lembaga
pengendalian sosial adalah berbagai sarana untuk mendorong warga masyarakat
agar bersedia mematuhi norma-norma yang berlaku. (John J. Macionis)
Berdasarkan
berbagai definisi tersebut dapat dikatakan bahwa hakikat dari lembaga
pengendalian sosial adalah berbagai upaya yang dilakukan kelompok atau
masyarakat untuk membuat anggota-anggotanya bersedia mematuhi norma yang
berlaku dalam kelompok atau masyarakat yang bersangkutan.
2. Cara,
Sifat, dan Subjek dalam Pengendalian Sosial
Pengendalian sosial bisa dipahami dari
berbagai dimensi, antara lain, berdasarkan sifatnya (prefentif dan represif),
cara pelaksanaannya (persuasive dan koersif), dan jumlah pelaku serta sasaran
yang dituju (perorangan dan kelompok).
2.1.
Cara pengendalian sosial
Dilihat dari dimensi cara
pelaksanaannya, pengendalian sosial bisa dibedakan atas pengendalian sosial
yang dilaksanakan secara persuasive dan koersif.
a) Cara
Persuasif
Cara persuasive merupakan upaya
pengendalian sosial yang dilakukan dengan menekankan pada tindakan yang
sifatnya mengajak atau membimbing warga masyarakat agar bersedia bertindak
sesuai dengan norma yang berlaku. Cara persuasive cenderung menekankan pada
upaya penyadaran masyarakat.
b) Cara
koersif
Cara koersif merupakan upaya
pengendalian sosial yang dilakukan dengan menekankan pada tindakan yang
sifatnya memaksa warga masyarakat agar bersedia bertindak sesuai dengan norma
yang berlaku. Cara koersif cenderung menekankan pada berbagai upaya pemaksaan
masyarakat. Upaya ini semestinya digunakan seminimal mungkin, yaitu bila upaya
persuasive tidak memberikan hasil.
2.2.Sifat
Pengendalian Sosial
berdasarkan sifatnya, pengendalian
sosial terdiri dari upaya preventif dan upaya represif. Berikut keterangan
lebih jelasnya :
a) Upaya
Preventif
Yaitu
berbagai upaya pengendalian sosial yang dilakukan untuk mencegah terjadinya
berbagai gangguan terhadap kedamaian dan ketertiban masyarakat. Upaya upaya
preventif dilakukan misalnya melalui proses sosialisasi. Contoh : iklan layanan
masyarakat yang berisi ajakan untuk menciptakan pemilu dengan damai
b) Upaya
Represif
Yaitu berbagai upaya pengendalian sosial
yang dilakukan untuk mengembalikan kedamaian dan ketertiban masyarakat yang
pernah terganggu. Upaya upaya represif dilakukan dalam bentuk pemberian sanksi
kepada warga masyarakat yang menyimpang atau melanggar norma yang berlaku.
Contoh : penjatuhan pidana penjara kepada pelaku korupsi.
2.3.Pelaku
dan Sasaran Pengendalian Sosial
Bila dilihat berdasarkan jumlah pelaku
dan sasaran yang dituju, upaya pengendalian sosial terdiri atas beberapa hal
berikut ini :
a) Pengendalian
sosial yang dilakukan oleh individu terhadap individu lainnya.
b) Pengendalian
sosial yang dilakukan oleh individu terhadap kelompok.
c) Pengendalian
sosial yang dilakukan oleh kelompok terhadap individu
d) Pengendalian
sosial yang dilakukan oleh kelompok terhadap kelompok lain.
3. Jenis-Jenis
Lembaga Pengendalian Sosial
Ada berbagai jenis lembaga pengendalian
sosial yang berfungsi untuk mencegah dan mengatasi perilaku menyimpang. Lembaga
pengendalian sosial tersebut meliputi: gossip, teguran, hukuman, pendidikan,
dan agama. Berikut eterangan lebih jelas:
3.1.Gosip
Gossip sering juga disebut dengan desas
desus atau kabar burung. Gossip merupakan berita yang menyebar belum
tentu/tanpa berlandaskan pada kenyataan atau fakta. Dengan demikian gossip bisa
saja benar, namun bisa pula salah. Jadi berita dalam gossip masih diragukan
kebenarannya. Sebab sering kali berita dalam gossip tidak jelas sumbernya.
3.2.Teguran
Teguran adalah peringatan yang dilakukan oleh satu
pihak kepada pihak lain. Teguran itu bisa dilakukan oleh seseorang kepada orang
lain, seseorang kepada kelompok lain, satu kelompok kepada seseorang, atau dari
kelompok kepada kelompok lain. Teguran bisa dilakukan dengan cara lisan dan
atau secara tertulis.
sumber : Sosiologi untuk SMA kelas X, oleh Saptono, Bambang Suteng S. penerbit: Phibeta, 2006
sumber : Sosiologi untuk SMA kelas X, oleh Saptono, Bambang Suteng S. penerbit: Phibeta, 2006