Kamis, 08 Desember 2011

Kasus Nazaruddin, Citra Partai Demokrat dan KPK



 Analisis Kasus Nazzarudin

Kasus Nazaruddin, Citra Partai Demokrat dan KPK
Indonesia memang tak pernah lepas dari jeratan korupsi, demikian berbagai kasus yang menimpa tokoh-tokoh bangsa dan tokoh partai. Kasus terakhir yang heboh di public adalah kasus korupsi Wisma Atlet Palembang yang kemudian menyeret tokoh-tokoh Partai Demokrat seperti Angelina Sondakh, Mirwan Amir, Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Nazarudin, Ketua Umum Anas Urbaningrum, hingga Menpora Andi Mallarangeng.
Keterlibatan awal Nazarudin dalam kasus suap Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga membuat Partai Demokrat harus memecat Nazarudin sebagai bendahara umum partai demokrat. KPK segera menindak lanjuti kasus Nazarudin, namun sehari sebelum surat pencekalan dikeluarkan KPK ternyata Nazarudin telah berhasil lari ke Singapura dengan alasan untuk berobat.
Kasus Nazarudin benar-benar menimbulkan tsunami politik di tubuh Partai Demokrat. Persoalan meluas hingga sesama kader saling membuka aib. Pada titik ini hampir dapat dipastikan bahwa konsolidasi elite mereka gagal mencari titik temu dan jalan tengah. Ini agak menyimpang dari gejala jamak yang biasanya terjadi di tataran elite partai politik jika ada kader mereka yang terjerat kasus korupsi. Biasanya pertikaian akan diredam melalui negosiasi internal hingga kemudian persoalan tidak memasuki ranah hukum. Kalaupun ada, yang diproses hukum biasanya pemain kelas teri.
Beberapa petinggi partai sebenarnya sudah berusaha kearah itu. Sikap defensive dengan selalu beralibi bahwa Nazarudin akan pulang ke Indonesia jika sudah selesai berobat di Singapura. Namun upaya tersebut kandas dan justru berbalik arah ketika Nazarudin membeberkan dugaan keterlibatan sejumlah tokoh Partai Demokrat.
Sangat besarnya kasus ini sehingga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono harus menyempatkan diri untuk berpidato menaanggapi isu Kongges Luar Biasa untuk melengserkan Anas Urbaningrum, belakangan SBY member jaminan bahwa Anas akan tetap menjadi ketua dan tidak ada KLB. 
Nazarudin membeberkan keterlibatan beberapa tokoh bahkan menyebut pimpinan KPK, Chandra Hamzah juga terlibat dalam pusaran kasus ini. Nazarudin beberapa kali pindah ke Negara-negara lain guna pelariannya, terakhir kali dia muncul di sebuah acara Metro TV hasil perbincangannya dengan wartawan senior Iwan Piliang dan disana dia mengungkap semua fakta kasus korupsi yang melibatkan Partai Demokrat. 
Itulah titik balik Nazarudin, melalui video rekaman melalui Skype tersebut ternyata dianalisis oleh pakar teknologi informasi dan komunikasi dan diketahui keberadaannya saat itu di Argentina, Amerika Latin. Sadar sudah diketahui maka Nazarudin pun lari ke Kolombia, naasnya saat Nazarudin berada di Kota Cartagena, Kolombia Minngu 7 Agustus 2011 dia tertangkap Interpol internasional.
Nazarudin menghadapi dua masalah sekaligus saat ini, karena pemerintah Kolombia juga akan menyeret Nazarudin dalam kasus paspor palsu, paspor yang digunakan Nazarudin beridentitas Syarifudin. Bila pemerintah kolombia menyatakan dia bersalah maka bisa saja dia akan di deportasi, bila deportasinya berlangsung cepat tentu ini akan menguntungkan pemerintah Indonesia karena proses pemulangannya lebih cepat. Namun pemerintah Indonesia tidak mau terlihat pasif, pemerintah juga mengajukan permohonan untuk bisa mengekstadisi Nazarudin secepatnya agar bisa lekas dibawa ke Indonesia.

Tingkat Kepercayaan Publik Menurun
Setelah Nazarudin pulang nantinya, ini akan menjadi tantangan terhadap KPK dan terutama Partai Demokrat untuk bisa membuktikan diri terhadap komitmennya mengenai pemberantasan korupsi yang tak kenal tebang pilih
Isu korupsi di lingkungan partai ini sebenarnya bukan hal yang baru, isu yang sama pernah dialami oleh sejumlah parpol di Indonesia. Namun sayangnya, yang selalu jadi kambing hitam dan mendekam dalam penjara adalah oknum-oknum dari parpol tersebut, sementara parpol sebagai institusi berbadan hukum seolah mempunyai kekebalan hukum.
Sebagian besar partai besar di negeri ini selalu terjebak dalam kubangan korupsi. Sebagai contoh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang disorot karena setidaknya 16 kader mereka terjerat kasus cek pelawat. Demikian pula Partai Golkar yang ikut terseret dalam kasus mafia pajak Gayus Tambunan yang diduga melibatkan perusahaan milik ketua umum Aburizal Bakrie.
Konteks kasus yang melilit Partai Demokrat saat ini lebih kepada perangai kader partai itu sendiri. Persoalan Nazarudin hanyalah antiklimaks dari kritik luas public kepada partai demokrat yang seolah-olah menjadi tempat perlindungan bagi banyak tersangka korupsi.
Sejumlah kasus korupsi di Partai Demokrat ini kian lengkap setelah melihat memudarnya ikon Demokrat, yakni SBY, dalam menerjemahkan setiap kata menjadi aksi konkret dalam pemberantasan korupsi. Kebijakan yang dibuat untuk melawan korupsi seolah-olah hanya macan di atas kertas.
Tingkat kepercayaan public terhadap Partai Demokrat telah memudar, demikian juga dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang digadang-gadang sebagai lembaga independen untuk membersihkan korupsi di muka bumi Indonesia. Saat ini citra Komisi Pemberantasan Korupsi di tubir jurang. Demikian hasil laporan jajak pendapat Kompas di awal bulan Agustus ini. dalam jakaj pendapat itu, hanya tersisa 36,2 persen responden yang menyatakan citra KPK positif. Padahal pada Juni lalu citra KPK dimata public masih 57 persen. Inilah dukungan terendah dan situasi terburuk yang dialami KPK dalam beberapa tahun terakhir.
            Saat ini Panitia Seleksi pimpinan KPK sedang memilih beberapa calon untuk mengisi ketua KPK selanjutnya, beberapa nama gugur diduga public karena campur tangan pengakuan Nazarudin. Pansel KPK harus secara cermat dalam memilih ketua KPK yang benar-benar kredibel untuk bisa memimpin lembaga ini agar kuat dalam dan luar. Alih-alih memperkuat KPK, Marzuki Alie selaku Ketua DPR yang juga anggota Partai Demokrat justru pesimis terhadap KPK. Marzuki Alie bahkan secara tegas menyatakan bahwa jika sudah tidak ada lagi yang pantas memimpin KPK maka seyogyanya KPK dibubarkan saja, para koruptor dimaafkan jika mengembalikan uang hasil korupsinya. Hal ini sangat mencederai proses keadilan, bagaimana Indonesia akan maju bila koruptor bebas dan dimaafkan?? Negara China yang saat ini tumbuh menjadi raksasa ekonomi dunia memberlakukan hukum mati terhadap koruptor kelas kakap, itu juga tingkat korupsi di China masih tinggi, namun setidaknya itu sangat bisa membuat efek jera bagi siapa saja yang ingin mencobanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar