Analisis Kasus Nazzarudin
Kasus
Nazaruddin, Citra Partai Demokrat dan KPK
Indonesia memang tak pernah lepas dari
jeratan korupsi, demikian berbagai kasus yang menimpa tokoh-tokoh bangsa dan
tokoh partai. Kasus terakhir yang heboh di public adalah kasus korupsi Wisma
Atlet Palembang yang kemudian menyeret tokoh-tokoh Partai Demokrat seperti
Angelina Sondakh, Mirwan Amir, Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Nazarudin,
Ketua Umum Anas Urbaningrum, hingga Menpora Andi Mallarangeng.
Keterlibatan awal Nazarudin dalam
kasus suap Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga membuat Partai Demokrat
harus memecat Nazarudin sebagai bendahara umum partai demokrat. KPK segera
menindak lanjuti kasus Nazarudin, namun sehari sebelum surat pencekalan
dikeluarkan KPK ternyata Nazarudin telah berhasil lari ke Singapura dengan
alasan untuk berobat.
Kasus Nazarudin benar-benar
menimbulkan tsunami politik di tubuh Partai Demokrat. Persoalan meluas hingga
sesama kader saling membuka aib. Pada titik ini hampir dapat dipastikan bahwa
konsolidasi elite mereka gagal mencari titik temu dan jalan tengah. Ini agak
menyimpang dari gejala jamak yang biasanya terjadi di tataran elite partai
politik jika ada kader mereka yang terjerat kasus korupsi. Biasanya pertikaian
akan diredam melalui negosiasi internal hingga kemudian persoalan tidak
memasuki ranah hukum. Kalaupun ada, yang diproses hukum biasanya pemain kelas
teri.
Beberapa petinggi partai sebenarnya
sudah berusaha kearah itu. Sikap defensive dengan selalu beralibi bahwa
Nazarudin akan pulang ke Indonesia jika sudah selesai berobat di Singapura.
Namun upaya tersebut kandas dan justru berbalik arah ketika Nazarudin membeberkan
dugaan keterlibatan sejumlah tokoh Partai Demokrat.
Sangat besarnya kasus ini sehingga
Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono harus
menyempatkan diri untuk berpidato menaanggapi isu Kongges Luar Biasa untuk
melengserkan Anas Urbaningrum, belakangan SBY member jaminan bahwa Anas akan
tetap menjadi ketua dan tidak ada KLB.
Nazarudin membeberkan keterlibatan
beberapa tokoh bahkan menyebut pimpinan KPK, Chandra Hamzah juga terlibat dalam
pusaran kasus ini. Nazarudin beberapa kali pindah ke Negara-negara lain guna
pelariannya, terakhir kali dia muncul di sebuah acara Metro TV hasil
perbincangannya dengan wartawan senior Iwan Piliang dan disana dia mengungkap
semua fakta kasus korupsi yang melibatkan Partai Demokrat.
Itulah titik balik Nazarudin, melalui
video rekaman melalui Skype tersebut ternyata dianalisis oleh pakar teknologi
informasi dan komunikasi dan diketahui keberadaannya saat itu di Argentina,
Amerika Latin. Sadar sudah diketahui maka Nazarudin pun lari ke Kolombia, naasnya
saat Nazarudin berada di Kota Cartagena, Kolombia Minngu 7 Agustus 2011 dia
tertangkap Interpol internasional.
Nazarudin menghadapi dua masalah
sekaligus saat ini, karena pemerintah Kolombia juga akan menyeret Nazarudin
dalam kasus paspor palsu, paspor yang digunakan Nazarudin beridentitas
Syarifudin. Bila pemerintah kolombia menyatakan dia bersalah maka bisa saja dia
akan di deportasi, bila deportasinya berlangsung cepat tentu ini akan
menguntungkan pemerintah Indonesia karena proses pemulangannya lebih cepat.
Namun pemerintah Indonesia tidak mau terlihat pasif, pemerintah juga mengajukan
permohonan untuk bisa mengekstadisi Nazarudin secepatnya agar bisa lekas dibawa
ke Indonesia.
Tingkat
Kepercayaan Publik Menurun
Setelah Nazarudin pulang nantinya, ini
akan menjadi tantangan terhadap KPK dan terutama Partai Demokrat untuk bisa
membuktikan diri terhadap komitmennya mengenai pemberantasan korupsi yang tak
kenal tebang pilih
Isu korupsi di lingkungan partai ini
sebenarnya bukan hal yang baru, isu yang sama pernah dialami oleh sejumlah
parpol di Indonesia. Namun sayangnya, yang selalu jadi kambing hitam dan
mendekam dalam penjara adalah oknum-oknum dari parpol tersebut, sementara
parpol sebagai institusi berbadan hukum seolah mempunyai kekebalan hukum.
Sebagian besar partai besar di negeri
ini selalu terjebak dalam kubangan korupsi. Sebagai contoh Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang disorot karena setidaknya 16 kader mereka
terjerat kasus cek pelawat. Demikian pula Partai Golkar yang ikut terseret
dalam kasus mafia pajak Gayus Tambunan yang diduga melibatkan perusahaan milik
ketua umum Aburizal Bakrie.
Konteks kasus yang melilit Partai
Demokrat saat ini lebih kepada perangai kader partai itu sendiri. Persoalan
Nazarudin hanyalah antiklimaks dari kritik luas public kepada partai demokrat
yang seolah-olah menjadi tempat perlindungan bagi banyak tersangka korupsi.
Sejumlah kasus korupsi di Partai
Demokrat ini kian lengkap setelah melihat memudarnya ikon Demokrat, yakni SBY,
dalam menerjemahkan setiap kata menjadi aksi konkret dalam pemberantasan
korupsi. Kebijakan yang dibuat untuk melawan korupsi seolah-olah hanya macan di
atas kertas.
Tingkat kepercayaan public terhadap
Partai Demokrat telah memudar, demikian juga dengan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) yang digadang-gadang sebagai lembaga independen untuk
membersihkan korupsi di muka bumi Indonesia. Saat ini citra Komisi
Pemberantasan Korupsi di tubir jurang. Demikian hasil laporan jajak pendapat
Kompas di awal bulan Agustus ini. dalam jakaj pendapat itu, hanya tersisa 36,2
persen responden yang menyatakan citra KPK positif. Padahal pada Juni lalu
citra KPK dimata public masih 57 persen. Inilah dukungan terendah dan situasi
terburuk yang dialami KPK dalam beberapa tahun terakhir.
Saat
ini Panitia Seleksi pimpinan KPK sedang memilih beberapa calon untuk mengisi
ketua KPK selanjutnya, beberapa nama gugur diduga public karena campur tangan
pengakuan Nazarudin. Pansel KPK harus secara cermat dalam memilih ketua KPK
yang benar-benar kredibel untuk bisa memimpin lembaga ini agar kuat dalam dan
luar. Alih-alih memperkuat KPK, Marzuki Alie selaku Ketua DPR yang juga anggota
Partai Demokrat justru pesimis terhadap KPK. Marzuki Alie bahkan secara tegas
menyatakan bahwa jika sudah tidak ada lagi yang pantas memimpin KPK maka
seyogyanya KPK dibubarkan saja, para koruptor dimaafkan jika mengembalikan uang
hasil korupsinya. Hal ini sangat mencederai proses keadilan, bagaimana
Indonesia akan maju bila koruptor bebas dan dimaafkan?? Negara China yang saat
ini tumbuh menjadi raksasa ekonomi dunia memberlakukan hukum mati terhadap
koruptor kelas kakap, itu juga tingkat korupsi di China masih tinggi, namun
setidaknya itu sangat bisa membuat efek jera bagi siapa saja yang ingin
mencobanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar